Dinamika Kehidupan Mahasiswa



Dinamika Kehidupan Mahasiswa
Oleh : M. Hariansyah
Selepas pulang ngampus saya tidak langsung pulang, kendaraan menuntun saya mengarah ke sebuah kafe yang telah di sepakati bersama dalam group whats app tadi siang, untuk memenuhi janji tersebut saya hadir karena sudah lama tidak duduk dan diskusi bersama dengan teman sekaligus satu tim saya dalam lomba debat keterbukaan informasi publik mahasiswa Se-Indonesia di Bogor beberapa waktu yang lalu. Pendeknya, setiba saya sampai di lokasi tujuan saya melihat dan langsung mengahapiri mereka berdua yang  telah sampai terlebih dahulu.
Nyatanya pembicaraan yang menjurus ke ranah diskusi tidak terelakkan, di awali pertanyaan basa-basi mengenai kabar dan kesibukkan belakangan, baik dalam perkuliahan serta organisasi masing-masing dengan khas pembahasan mahasiswa kedai kopi. Hingga masuk pembahasan yang lebih kompleks mengenai kehidupan akademika universitas dan kita sebagai universitas.
Di sela-sela perbicaraan kami mengenai mahasiswa, teman saya mengatakan ada beberapa tipe yang dapat di kategorikan sebagai mahasiswa di universitas. Pertama, mahasiswa akademisi. Kedua, mahasiswa aktifis (politisi) dan yang ketiga mahasiswa hedonis (labil).
Mahasiswa akademisi
            Jika kita mengorek-ngorek kehidupan mahasiswa, perkataan teman saya itu ada benarnya dan saya sepakat juga akhirnya dengangnya. Berangkat dari aneka latar belakang sosial, kemandirian ekonomi, pendidikan dan kekayaan intelektual, dan ragam budaya yang berbeda-beda, secara alamiah akan membentuk watak dan kepribadian para mahasiswa.
Ibarat peta, ragam dinamika kampus akan menuntun dan menawarkan pilihan bagi mahasiswa, mencari apa dan hendak kemana adalah mutlak bagi mereka. Mahasiswa akan bermetamorfosa sesuai dengan yang diinginkan, tumbuh berkembang menjadi aku-nya. Tak ayal, pilihan menjadi aktifis, hedonis, dan akademisi adalah warna tersendiri.
Jika bicara mahasiswa akademisi, tidak semua dari mereka adalah kutubuku, berkacamata dan culun. Di zaman serba modern ini, mahasiswa akademisi juga pandai memoles citra, mulai dari retorika berbicara yang elegan, ilmiah dan cerdik, mereka juga rapi. seperti ungkapan Rosalie Maggio "anda takkan bisa membuat kesan pertama untuk kedua kalinya," jadi, kaum akademisi cenderung hati-hati dalam menciptakan tradisi, kesan terpelajar sudah tentu menjadi backgound mereka.
Mahasiswa akademisi murni cendrung tidak berorganisasi dan enggan menyibukkan diri dengan kegiatan organisasi maupun non-akademik, karena mahasiswa akademisi memiliki perspektif  jikalau mereka ikut berkecimpung dalam organisasi intra maupun ektra kampus akan dapat mengganggu perkuliahan dan perjalanan kiprah akademik mereka dalam pengejaran syahwat intelektual yang mereka cari.
Mahasiswa akademisi lebih sering ke perpustakaan daripada ke mall, sering menggonta-ganti buku daripada ganti handphone. Soal akademik, itu wilayah mereka, membaca buku dan mengelaborasi berbagai ilmu untuk suatu penemuan sudah menjadi ruh. Bergabung dalam kelompok diskusi ilmiah adalah wadah kegiatan mereka dimana pelbagai persoalan akademik akan tumpah-ruah disitu, diulas dengan tepat, dikritik secara tajam, dibincangkan, sampai diperdebatkan pun menjadi fenomena yang lazim.
Membicarakan dunia akademik, memiliki karya dan prestasi akademik merupakan kudapan yang sangat mereka minati dari pada beradu argumentasi membicarakan dunia politik, atau membahas isu-isu kenegaraan. Terlebih mereka memandang mahasiswa yang tergabung dalam organisasi lebih cendrung mendiskusikan atau membahas dunia politik, atau membahas isu-isu sosial lainnya dari pada mendiskusikan atau membahas dunia akademik.
Karena menurut mereka (mahasiswa akademisi) untuk melakukan perubahan atau memperbaiki suatu permasalahan yang ada di negara ini, tidak harus membicarakan hal itu secara intens dan melakukan aksi demontrasi turun langsung ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka, mengkritisi yang mereka anggap salah bukan seperti itu lagi caranya, mereka berpikir hal itu tidaklah baik bahkan menjurus sebagai citra yang bukan mewakili keidealisan mahasiswa.
Mahasiswa akademisi berpandangan bahwa dengan cara mereka membuat karya dan mengukir prestasi itu jauh lebih berguna bagi mayarakat, bangsa dan negara  untuk memperbaiki atau memberikan jalan keluar dan solusi yang sedang di hadapkan negara dewasa ini.
Mahasiswa akademisi acap kali memiliki orientasi nilai yang bagus merupakan patokan di akhir semester, idealnya mereka ingin mendapat nilai baik. Hitam di atas putih adalah keniscayaan, artinya gemilang di forum harus dibuktikan dengan nilai ijazah yang baik dengan catatan cumlaude. Intinya, khazanah kampus kental terasa dilingkungan mahasiswa akademisi.
Mahasiswa Aktifis
Naluri  mahasiswa adalah kritis terhadap lingkungan sosial, politik, budaya, dan ekonomi disekitar mereka, peka terhadap gejala-gejala yang timbul di lingkungan masyarakat dan negara. Tak dipungkiri, mahasiswa aktifis ini rela bermandikan keringat hanya untuk berdemonstrasi menolak kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat, melayangkan berbagai tulisan dan kritik lainnya, melakukan bakti sosial di masyarakat dan bejubel kegiatan lainnya.
Mereka berpandangan bahwa untuk melakukan perubahan atau memperbaiki suatu permasalahan yang ada di negara ini, harus dengan melakukan aksi demontrasi turun langsung ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka, mengkritisi kebijakan pemerintah, tak cukup dengan berdiam diri dan melalui tulisan. Karena menurut mereka “mendiamkan sebuah kejahatan merupakan kesalahan” kata soe hoe gie seorang tokoh mahasiswa yang menjadi idola para mahasiswa aktifis kebanyakan.
Dari corak pemikiran mahasiswa aktifis, memang cenderung berapi-api, orasi berkoar-koar dan sangat menggelora. Apalagi jika lingkungan kampus juga sarat politik, maka mahasiswa aktifis berada dikoridornya, sangat senang untuk mendiskusikan dunia politik dari pada akademik, mahasiswa aktifis cendrung menjadi mahasiswa politisi, mereka tak hanya belajar teori tapi juga merangsek lebih dalam diruang praktik, ruang publik.
Tapi, tak ada yang sempurna, realita yang saya saksiskan di lingkungan kampus sendiri, banyak mahasiswa aktifis yang senang berlama-lama kuliah, mengejar impian politik dan jabatan lainnya yang dianggap prestisius atau karena banyak matakuliah mengulang di karena kesibukkan diluar kampus yang tak dapat memagement waktunya dengan perkuliahan, mereka menggangap nilai tidak lebih hanya sebuah angka di atas kertas yang tak menjadi jaminan dan indikator dari sebuah kata “kesuksesan”.
Namun, yang sangat di sayangkan mahasiswa aktifis dewasa ini telah kehilangan keidealisannya dan daya kritisnya sehingga cendrung mempratikkan politik praktis, bahkan mahasiswa aktifis juga tak bersih dimata mahasiswa dan lingkungan sosialnya. terkadang, idiologi mereka juga sudah ditumpangi kepentingan elite politik dan kepentingan pribadi
Mahasiswa Hedonis
Berargumen mengenai mahasiswa hedonis. Jangan salah kaprah, mahasiswa hedonis tak semuanya borjuis, yang pas-pasan kekuatan ekonominya pun ada yang hedonis, biasanya mereka cendrung di anggap mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), kunang-kunang (kuliah nagkring-kuliah nangkring), juga tak sedikit dari mereka yang menjadi shopaholic, hampir setiap mall, cafe/coffe shop, hingga tempat kareoke di penjuru kota sudah di tongkrongi.
Memang hedonis dianggap jauh dari tradisi kampus, tapi inilah realitanya. Kebanyakan mahasiswa hedonis, kuliah hanya sekedar singgahan, tak peduli berapa banyak matakuliah yang mereka tinggalkan demi ke mall dan nongkrong.
Mereka menganggap mahasiswa akademisi terlalu sibuk dengan aktifitas akademika, mengerjakan tugas, aktif di perkuliahan, mengejar nilai tinggi sehingga tidak ada kepikiran hal yang lain selain dari itu. Sedangkan mahasiswa aktifis mereka (mahasiswa hedonis) menganggap mereka hanya orang yang terlalu sibuk dengan organisasi, kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat) di sibukkan dengan diskusi, padat kegiatan di luar kampus, dan hal semacamnya dan keduanya itu bukan dunia mereka (mahasiswa hedonis).
Mahasiswa hedonis cendrung menjadi mahasiswa yang labil yang tak memiliki arah  mau menjadi mahasiswa yang sesungguhnya. Baik menjadi mahasiswa akademisi, aktifis (politisi). Namun, itu bukan sebuah pilihan. Satu pesan saya, ingat nasehat Viru Sahasrabuddhe, Jadilah pemain bola atau jadilah apa kata hatimu.
Penulis merupakan mahasiswa PPKn Fis Unimed,
Duta Keterbukaan Informasi Publik Sumut dan
Aktifis di Sekolah Anti Korupsi Sumut



Komentar

Postingan populer dari blog ini

BISNIS BERGARANSI 100% MAMA PARFUME INDONESIA

Merawat Hutan Mangruve Demi Ekologi Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan