Antara Pendidikan Politik dan Modernisasi Politik
Subtema "Merawat Keberagaman dalam Pilkada Sebagai Wujud Demokrasi Lokal"
Momentum Pilkada 2018 mulai
menarik untuk diperbincangkan oleh khalayak ramai, baik politisi, pengamat
politik atau bahkan LSM. Pasalnya, ada 171 daerah yang secara serentak
menggelar hajatan pemilihan kepala daerah se Indonesia. Nuansa politik sudah
mulai terasa dan menjadi hal yang tak terpisahkan menjelang pesta demokrasi
bahkan sudah ada pihak yang mencoba memanaskan mesin.
Sementara
itu pada tahun 2019, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan presiden. Aroma
dan hiruk-pikuk politik ini bahkan sudah bisa dirasakan sekarang, tidak saja
secara nyata, tetapi juga di berbagai media sosial. Media sosial menjadi sarana
pendukung utama dalam kampanye politik karena tingginya jumlah pengguna di
tanah air.
Ketua
KPU Arief Budiman mensinyalir potensi konflik pilkada 2018 cukup tinggi.
Alasannya adalah kompetisi yang sangat ketat antar peserta, uang yang terlibat
dan beredar cukup banyak, dan jumlah pemilih yang diperebutkan juga banyak (detik online). Abdul Ghofur, Direktur
Eksekutif Rubik, menyampaikan lima jenis konflik yang berpotensi terjadi dalam
pilkada, yakni: konflik internal penyelenggara, konflik antar-penyelenggara,
konflik antar peserta pemilu, konflik penyelenggara dengan masyarakat, dan
konflik antar masyarakat pendukung (Kompas
online).
Di
antara konflik-konflik di atas, konflik yang berbahaya dan mengancam
sendi-sendi kehidupan berbangsa adalah utamanya konflik antar masyarakat
pendukung, walaupun konflik ini sesungguhnya adalah turunan dari konflik antar
peserta pemilu. Konflik ini mempunyai eskalasi yang luas – apalagi ditumpangi
oleh provokator – dan biasanya mempunyai dampak psikologis yang panjang, bahkan
ketika pemilu/pilkada telah usai.
Potensi
terbesar pemicu Konflik horizontal adalah dibawanya isu sara (baca: agama)
dalam ranah politik praktis. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religious
dan agama adalah alat sangat ampuh dan sensitif untuk menggalang dan
memobilisasi massa. Apalagi, dengan menguatnya tren islamisme yang tidak
menarik garis batas antara agama dan politik.
Kasus
pilgub DKI belum lama ini misalnya, bagaimana isu dan agama dimainkan
untuk mempengaruhi dan mengarahkan opini publik. Di antara contoh konkritnya
adalah pemasangan spanduk di banyak tempat yang berisi ancaman tidak akan
mengurus jenazah muslim yang memilih pasangan gubernur yang kebetulan
non-muslim.
Kasus
politisasi agama rentan terjadi di mana saja dan kapan saja. Persoalan ini
seolah menjadi benang kusut yang sulit untuk diurai. Persoalan ini melibatkan
banyak pihak: peserta pemilu yang berambisi untuk menang dengan segala cara,
tokoh-tokoh agama dan masyarakat yang “suka” terseret dalam arus politik untuk
memenangkan kontestan politik tertentu, penyelenggara negara yang belum bisa
tegas menjalan sistem pemilu yang jurdil, dan masyarakat yang belum tercerahkan
dalam persoalan politik “relasi agama dan politik” .
Bangsa
ini membutuhkan rekonsiliasi nasional. Disebabkan oleh politik, diakui atau
tidak, kita berjalan ke arah jurang yang mencemaskan. Ranjau telah disebar dan
hanya butuh entah kaki siapa untuk tak sengaja menginjaknya.
Saat ini suasana politik
sangat jauh dari kepekaan penguasa, jauh dari tujuan pengambil keputusan, yang
muncul adalah hujat menghujat, jelek menjelekkan bahkan merekayasa sesuatu yang
sesungguhnya tidak ada, untuk menjatuhkan lawan politik (Machiaveli,
menghalalkan segala cara, demi
tercapainya tujuan).
Sejak bergulirnya reformasi
pada tahun 1998, saya memiliki harapan besar akan terjadinya perubahan dalam
sistem politik pemerintahan. Ironisnya harapan itu lenyap entah dimana
rimbanya. Parahnya lagi suasana perpolitikan saat ini benar-benar telah menjadi
anti tesis dari apa yang dikemukakan Carl Schmitt, Almond, dan Powell.
Pembangunan politik seharusnya meningkatkan diferensiasi dan spesialisasi
efektivitas dan efisiensi perilaku serta mampu memberikan solusi bijaksana
terhadap fenomena dan anomali yang muncul.
Runtuhnya teori-teori politik
menuntut adanya perbaikan sistem politik yang kita hadapi, namun kekacauan
dalam memaknai politik untuk mencapai tujuan, juga perlu menjadi kajian bersama
pemerintahan dan masyarakat. Lihat saja efek dari beda pendapat telah memancing
emosi lalu muncul tindakan brutal, anarkis sampai pada bentrok fisik yang
berakibat rusaknya fasilitas umum dan sosial sampai hilangnya nyawa dan harta benda rakyat yang tidak mengerti apa
sesungguhnya yang terjadi.
Harold J. Laski menulis
tujuan dan fungsi negara sebagai “creation
of those conditions under which teh member of the state may attain the maximum
satisfaction of their desires (Laski, 1947, 12).
Bandingkan pernyataan Laski
tersebut dengan substansi alinea IV Pembukaan UUD 1945 ... membentuk suatu
pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial ...
Agar tujuan tersebut dapat
terwujud, dibutuhkan sistem politik yang handal yakni suatu sistem yang mampu
memelihara keseimbangan antara infra dan supra struktur, sehingga
kepentingan-kepentingan semua pihak tidak berbenturan dan paling tidak dapat
dikurangi, dipertemukan, bahkan apabila memungkinkan dapat menghindari
demonstrasi dan konflik.
Berbicara pendidikan politik
masyarakat, memang belum banyak diungkap para pakar politik kecuali mengungkap
“pembangunan politik” sebagaimana dikemukakan para ahli antara lain Lucian W.
Pye bahwa, “pembangunan politik untuk meningkatnya Diferensiasi dan
spesialisasi struktur politik dengan meningkatnya sekularisasi budaya politik”
(L.W. Pye, Almond dan Powell 1968:106). Pembangunan politik secara umum akan
meningkatkan efektivitas dan efisiensi perilaku sistem politik serta
kapabilitasnya.
Artinya pembangunan politik
berlangsung untuk pelaku- pelaku dan elit politik tidak menyentuh masyarakat
dan rakyat sebagai subjek politik. Dengan demikian kemampuan sistem politik
diprediksi hanya mampu menjawab berbagai
tantangan yang dihadapi baik dari luar maupun dari dalam negeri pada ranah elit
dan pentolan politik pada ranah yang terbatas.
Kesemua peran tersebut akan
dapat berjalan secara kondusif, apabila di dukung oleh kemampuan komunikasi
cerdas yakni komunikasi yang dilandasi oleh teknik komunikasi Neuro lingguistik Programming (NLP),
sejenis teknologi baru pencetak manusia berprestasi. Sedangkan pemaknaan
politik secara filosofis adalah sebagai sarana warga negara menjadi manusia
yang memiliki “Akal Budi” (Socrates: London Press, 1945:139 dalam buku yang
berjudul A History of Philosophy).
Pemerintahan, secara
filosofis dapat dimaknai sebagai “Kelompok yang menuntun kehidupan bersama
menuju kebahagiaan hidup yang sebesar-besarnya dunia dan akhirat dengan tidak
merugikan pihak mana pun secara ilegal” (Van De Spiegel). Masalahnya adalah
bagaimana caranya agar semua menjadi nyaman, tertib dan terkendali? Jawabannya
sederhana “Lakukan pendidikan politik Masyarakat atau Modernisasi Politik ”.
M. Hariansyah, mahasiswa PPKn Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Alumni Climate Blogger,
Bogor 2017 dan Alumni Anti-Corruption Youth Camp, Bandung 2017.
Komentar
Posting Komentar