Fenomena Mahar dan Politik Transaksional
Subtema "Penanganan Sengketa Pilkada dan Perwujudan Demokrasi Antikorupsi."
Politik negeri ini masih tidak beranjak dari urusan kekuasaan semata. Perebutan jabatan serta kursi kepemimpinan tetap mengemuka, sedangkan politik gagasan dan kerakyatan makin terpinggirkan. Praktik politik semacam itu tidak terkecuali terjadi di tubuh partai politik.
Padahal, kehidupan partai merupakan entitas politik untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat. Kehadiran partai politik menjadi elemen yang sangat menentukan terhadap penyelenggaraan negara untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang prorakyat.
Kini publik kembali gaduh dengan suara dari La Nyalla yang merasa ditelikung oleh Gerindra karena tidak mau menyediakan mahar untuk pencalonannya di Pilkada Jawa Timur. La Nyalla membongkar politik mahar di Partai Gerindra. Tak main-main, ia mengungkap Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto meminta mahar sebesar Rp40 miliar untuk memuluskan langkahnya maju di Pilgub Jatim.
Jika dihitung dari profil kebutuhan anggaran, menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono mengatakan jumlah TPS yang ada di 38 kabupaten kota adalah sebanyak 68.511 pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur nanti. Untuk itu dibutuhkan tiga saksi untuk tiap TPS. "Kalau uang makan Rp 200 ribu per orang, maka dibutuhkan Rp 41 miliar. Belum lagi saksi-saksi di tingkat PPS, PPK dan KPUD," katanya.
Kisruh, atau sebut saja uang mahar untuk keperluan kontestasi seperti hal jamak bahkan di negara adi kuasa sekalipun. Isu besar saat salah satu tersangka kasus mega korupsi E-KTP, Johannes Marliem bahkan menjadi donatur dari upaya Barrack Obama kembali duduk di Gedung Putih pada pilres Amerika Serikat.
Menurut Data Litbang Kemendagri terkait Pilkada Serentak 2015 mengonfirmasi soal mahalnya biaya politik ini. Berdasarkan hasil kajian, untuk menjadi wali kota/bupati, dibutuhkan biaya mencapai Rp20 miliar hingga Rp30 miliar, sementara untuk menjadi gubernur berkisar Rp20 miliar sampai Rp100 miliar.
Akibatnya, tak sedikit para kandidat yang maju dalam pilkada tersebut mencari dana tambahan di luar yang telah dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik dalam bentuk laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) maupun laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK).
Mahalnya biaya jadi alasan mereka yang maju dalam pilkada untuk menghalalkan segala cara demi kursi kuasa. Mengapa politik transaksional sulit dilepaskan dari helatan pesta demokrasi di tanah air? Bagaimana mungkin jerat korupsi dilepaskan dari nadi Ibu Pertiwi jika politik transaksional terus terjadi?
Hal ini memberikan gambaran bahwa, semuanya masalah terkait bagaimana mengamankan kekuasaan, mencari peluang kekuasaan yang baru, dan diantaranya transaksi (uang dan kepentingan) selalu mungkin terjadi di tengah pragmatisme partai-partai.
Mencermati perkembangan yang ada, tampaknya dana kampanye belum menjadi perhatian publik. Padahal, sumber dan penggunaan dana kampanye amat terkait dengan asas pemilu yang akuntabel. Dana kampanye merupakan bagian yang paling rentan untuk terjadinya segala macam penyalahgunaan.
Berkaca pada pengalaman pelaksanaan beberapa pemilu lalu, dana kampanye adalah bagian yang tidak diatur dan diawasi secara ketat. Kelonggaran itu, memberi peluang kepada partai politik melakukan segala cara untuk menghimpun dana kampanye. Akibatnya, sulit untuk meminta pertanggung jawaban partai politik (parpol) peserta pemilu, baik secara politik maupun secara hukum, terhadap segala bentuk penyelewengan yang dilakukan.
Biaya politik kita kenapa mahal ?
Kenapa biaya politik kita mahal ? Karena memang membuatnya mahal. Atau kita bukan sedang melakukan aktifitas politik, tapi sedang melakukan aktifitas uang. Begitu asumsi dosen hukum saya, dan kemudian saya setuju dengan asumsinya.
Ketika kami berdiskusi di ruangannya selepas jam kuliah, ia menerangkan kepada saya mengenai rasionalitas kenapa hari ini dunia politik kita masih saja di warnai dengan mahar politik dan politik uang, dengan posisi sebagai masyarakat pada umumnya, politik itu mahal karena kita memang tidak sedang berpolitik. Sebagian dari kita saat ini sedang membagi-bagi uang dan menikmati pembagian itu dengan menjadikan politik sebagai sarananya.
Berbeda dengan politisi-politisi pendiri negara ini dulu berpolitik. Para orang tua kita itu berpolitik untuk tujuan yang hendak dicapainya bersama-sama dengan pendukungnya masing-masing. Kalaupun kemudian ada uang yang bisa dihasilkan dari aktifitas politiknya, itu adalah bonus bukan tujuan. bisa di cek saja berapa banyak politisi zaman itu yang kaya raya.
Berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Hampir semuanya adalah aktifitas uang dan politik sebagai bonusnya. Jadi wajar saja kalau politik kita kemudian membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menduduki jabatan tertentu.
Berdasarkan hasil pemikiran yang dilahirkan oleh para pemikir Frankfurt School yang notabene berasal dari kalangan Marxisme, mengungkapkan teori menarik bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya.
Sedangkan teori ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis menyatakan bahwa puncak kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber kemakmuran, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik). Teori terakhir ini kebanyakan hanya dijadikan bahan retorika, sedangkan praktiknya masih jauh dari harapan.
Logika politik transaksional, sadar atau tidak sadar, telah ikut memengaruhi jalannya kehidupan politik di Tanah Air. Sehingga menyebabkan para politikus berpikir praktis dan menyederhanakan segala tujuan demi memenuhi ambisi untuk berkuasa. Di Indonesia profesi sebagai pejabat yang duduk di berbagai lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif masih menarik minat banyak orang. Setidaknya bagi mereka yang kini aktif di berbagai organisasi sosial dan politik.
Politik transaksional memang bisa memuluskan ambisi para politikus menduduki berbagai jabatan mentereng. Akan tetapi itu bisa mengakibatkan buruknya kualitas moral para politikus itu sendiri, sebab mereka berpikir bahwa dengan bermodalkan uang yang cukup besar bisa memuluskan karier politik mereka.
Ini semestinya diperlakukan sebagai perilaku politik menyimpang yang seharusnya dengan tegas diberantas. Badan Pengawas Pemilu mestinya proaktif untuk mengusut pidana pemilu ini. Apalagi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menegaskan mahar politik dilarang.
Undang-undang tersebut juga membubuhkan sanksi tegas bagi pelaku praktik uang mahar. Dalam Pasal 47 UU disebutkan tiga bentuk sanksi. Pertama, jika terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, parpol yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
Kedua, terkait dengan pembayaran mahar atau imbalan tersebut, KPU dapat membatalkan penetapan calon kepala daerah. Ketiga, parpol atau gabungan parpol yang terbukti menerima imbalan atau mahar akan didenda 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Jika perilaku lancung praktik mahar politik tidak dituntaskan dan tidak masuk proses hukum, demokrasi transaksional yang mendominasi. Sebaliknya, politik gagasan lama-kelamaan punah. Selain itu, kontestasi politik sekadar menjadi ajang untuk melahirkan para koruptor.
Politik negeri ini masih tidak beranjak dari urusan kekuasaan semata. Perebutan jabatan serta kursi kepemimpinan tetap mengemuka, sedangkan politik gagasan dan kerakyatan makin terpinggirkan. Praktik politik semacam itu tidak terkecuali terjadi di tubuh partai politik.
Padahal, kehidupan partai merupakan entitas politik untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat. Kehadiran partai politik menjadi elemen yang sangat menentukan terhadap penyelenggaraan negara untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang prorakyat.
Kini publik kembali gaduh dengan suara dari La Nyalla yang merasa ditelikung oleh Gerindra karena tidak mau menyediakan mahar untuk pencalonannya di Pilkada Jawa Timur. La Nyalla membongkar politik mahar di Partai Gerindra. Tak main-main, ia mengungkap Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto meminta mahar sebesar Rp40 miliar untuk memuluskan langkahnya maju di Pilgub Jatim.
Jika dihitung dari profil kebutuhan anggaran, menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono mengatakan jumlah TPS yang ada di 38 kabupaten kota adalah sebanyak 68.511 pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur nanti. Untuk itu dibutuhkan tiga saksi untuk tiap TPS. "Kalau uang makan Rp 200 ribu per orang, maka dibutuhkan Rp 41 miliar. Belum lagi saksi-saksi di tingkat PPS, PPK dan KPUD," katanya.
Kisruh, atau sebut saja uang mahar untuk keperluan kontestasi seperti hal jamak bahkan di negara adi kuasa sekalipun. Isu besar saat salah satu tersangka kasus mega korupsi E-KTP, Johannes Marliem bahkan menjadi donatur dari upaya Barrack Obama kembali duduk di Gedung Putih pada pilres Amerika Serikat.
Menurut Data Litbang Kemendagri terkait Pilkada Serentak 2015 mengonfirmasi soal mahalnya biaya politik ini. Berdasarkan hasil kajian, untuk menjadi wali kota/bupati, dibutuhkan biaya mencapai Rp20 miliar hingga Rp30 miliar, sementara untuk menjadi gubernur berkisar Rp20 miliar sampai Rp100 miliar.
Akibatnya, tak sedikit para kandidat yang maju dalam pilkada tersebut mencari dana tambahan di luar yang telah dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik dalam bentuk laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) maupun laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK).
Mahalnya biaya jadi alasan mereka yang maju dalam pilkada untuk menghalalkan segala cara demi kursi kuasa. Mengapa politik transaksional sulit dilepaskan dari helatan pesta demokrasi di tanah air? Bagaimana mungkin jerat korupsi dilepaskan dari nadi Ibu Pertiwi jika politik transaksional terus terjadi?
Hal ini memberikan gambaran bahwa, semuanya masalah terkait bagaimana mengamankan kekuasaan, mencari peluang kekuasaan yang baru, dan diantaranya transaksi (uang dan kepentingan) selalu mungkin terjadi di tengah pragmatisme partai-partai.
Mencermati perkembangan yang ada, tampaknya dana kampanye belum menjadi perhatian publik. Padahal, sumber dan penggunaan dana kampanye amat terkait dengan asas pemilu yang akuntabel. Dana kampanye merupakan bagian yang paling rentan untuk terjadinya segala macam penyalahgunaan.
Berkaca pada pengalaman pelaksanaan beberapa pemilu lalu, dana kampanye adalah bagian yang tidak diatur dan diawasi secara ketat. Kelonggaran itu, memberi peluang kepada partai politik melakukan segala cara untuk menghimpun dana kampanye. Akibatnya, sulit untuk meminta pertanggung jawaban partai politik (parpol) peserta pemilu, baik secara politik maupun secara hukum, terhadap segala bentuk penyelewengan yang dilakukan.
Biaya politik kita kenapa mahal ?
Kenapa biaya politik kita mahal ? Karena memang membuatnya mahal. Atau kita bukan sedang melakukan aktifitas politik, tapi sedang melakukan aktifitas uang. Begitu asumsi dosen hukum saya, dan kemudian saya setuju dengan asumsinya.
Ketika kami berdiskusi di ruangannya selepas jam kuliah, ia menerangkan kepada saya mengenai rasionalitas kenapa hari ini dunia politik kita masih saja di warnai dengan mahar politik dan politik uang, dengan posisi sebagai masyarakat pada umumnya, politik itu mahal karena kita memang tidak sedang berpolitik. Sebagian dari kita saat ini sedang membagi-bagi uang dan menikmati pembagian itu dengan menjadikan politik sebagai sarananya.
Berbeda dengan politisi-politisi pendiri negara ini dulu berpolitik. Para orang tua kita itu berpolitik untuk tujuan yang hendak dicapainya bersama-sama dengan pendukungnya masing-masing. Kalaupun kemudian ada uang yang bisa dihasilkan dari aktifitas politiknya, itu adalah bonus bukan tujuan. bisa di cek saja berapa banyak politisi zaman itu yang kaya raya.
Berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Hampir semuanya adalah aktifitas uang dan politik sebagai bonusnya. Jadi wajar saja kalau politik kita kemudian membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menduduki jabatan tertentu.
Berdasarkan hasil pemikiran yang dilahirkan oleh para pemikir Frankfurt School yang notabene berasal dari kalangan Marxisme, mengungkapkan teori menarik bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya.
Sedangkan teori ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis menyatakan bahwa puncak kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber kemakmuran, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik). Teori terakhir ini kebanyakan hanya dijadikan bahan retorika, sedangkan praktiknya masih jauh dari harapan.
Logika politik transaksional, sadar atau tidak sadar, telah ikut memengaruhi jalannya kehidupan politik di Tanah Air. Sehingga menyebabkan para politikus berpikir praktis dan menyederhanakan segala tujuan demi memenuhi ambisi untuk berkuasa. Di Indonesia profesi sebagai pejabat yang duduk di berbagai lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif masih menarik minat banyak orang. Setidaknya bagi mereka yang kini aktif di berbagai organisasi sosial dan politik.
Politik transaksional memang bisa memuluskan ambisi para politikus menduduki berbagai jabatan mentereng. Akan tetapi itu bisa mengakibatkan buruknya kualitas moral para politikus itu sendiri, sebab mereka berpikir bahwa dengan bermodalkan uang yang cukup besar bisa memuluskan karier politik mereka.
Ini semestinya diperlakukan sebagai perilaku politik menyimpang yang seharusnya dengan tegas diberantas. Badan Pengawas Pemilu mestinya proaktif untuk mengusut pidana pemilu ini. Apalagi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menegaskan mahar politik dilarang.
Undang-undang tersebut juga membubuhkan sanksi tegas bagi pelaku praktik uang mahar. Dalam Pasal 47 UU disebutkan tiga bentuk sanksi. Pertama, jika terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, parpol yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
Kedua, terkait dengan pembayaran mahar atau imbalan tersebut, KPU dapat membatalkan penetapan calon kepala daerah. Ketiga, parpol atau gabungan parpol yang terbukti menerima imbalan atau mahar akan didenda 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Jika perilaku lancung praktik mahar politik tidak dituntaskan dan tidak masuk proses hukum, demokrasi transaksional yang mendominasi. Sebaliknya, politik gagasan lama-kelamaan punah. Selain itu, kontestasi politik sekadar menjadi ajang untuk melahirkan para koruptor.
M. Hariansyah merupakan
mahasiswa PPKn Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Alumni Climate Blogger,
Bogor 2017 dan Alumni Anti-Corruption Youth Camp, Bandung 2017.
Komentar
Posting Komentar