Keterbukaan Informasi, Mencegah Korupsi ?



Subtema "Perluasan Akses Keadilan Era Digital"


Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah salah satu produk hukum Indonesia yang dikeluarkan dalam tahun 2008 dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008 dan mulai berlaku dua tahun setelah diundangkan. Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal ini pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu.

Indonesia  kini telah memiliki Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang salah satunya bertujuan untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya yang sumber dananya dari APBN/APBD, masyarakat, dan luar negeri. Dengan berlakunya UU No.14/2008 itu, maka publik berhak mengakses informasi di badan publik dan tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak siap membuka informasi.

Posisi dan peran hak atas informasi akan bermuara pada kebebasan memperoleh informasi di dalam sistem negara yang demokratis, pemerintahan yang baik, serta pemerintahan yang terbuka.

Keterbukaan informasi adalah salah satu perangkat bagi masyarakat untuk mengontrol setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh pejabat, yang berpengaruh pada kehidupan mereka. Di sinilah titik temu antara keterbukaan informasi dengan demokratisasi. Good governance (tata pemerintahan yang baik), sebagai salah satu ciri negara demokrasi, mensyaratkan pemerintahan yang terbuka sebagai satu pondasinya.

Kebebasan memperoleh informasi merupakan salah satu prasyarat untuk menciptakan pemerintahan yang terbuka, yakni pemerintahan yang transparan dan partisipatoris. Hal itu mencakup seluruh proses pengelolaan sumber daya publik, sejak dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasinya.

Hak publik untuk memperoleh informasi dengan demikian merupakan salah satu prasyarat penting untuk mewujudkan pemerintahan terbuka. Perwujudan pemerintahan terbuka itu dapat dilihat sebagai upaya proaktif untuk mencegah timbulnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam mengelola sumber daya publik.

Manfaat kebebasan untuk memperoleh informasi bukan sekadar untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, efisien, sekaligus mampu mencegah praktik KKN, namun juga untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik dan pengawasan atas pelaksanaanya.

Di Indonesia, sudah menjadi rahasia umum bahwa kultur birokrasi selama ini terbukti menjadi semacam tirani informasi yang menutup akses masyarakat terhadap berbagai jenis informasi yang mereka kelola. Ketertutupan inilah, yang pada akhirnya membawa mereka pada budaya KKN.

Maka, peraturan perundangan (dalam hal ini UU KIP) yang menjamin kejelasan dan kepastian prosedur-prosedur pada lembaga publik menjadi sangat penting. Peraturan yang menjamin transparansi informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak serta penyebarluasannya secara proaktif. Termasuk di dalamnya adalah informasi yang berhubungan dengan pelayanan publik.

Agenda pemberantasan korupsi

Keterbukaan informasi seyogyanya dapat menaikkan indeks persepsi korupsi. Dengan adanya UU KIP menunjukkan bahwa indonesia menjamin keterbukaan informasi. Data yang dirilis oleh Global Integrity menunjukkan hal berbeda. Dalam hal keterbukaan informasi di kawasan Asia Tenggara, Indonesia mendapatkan nilai nyaris sempurna. Namun, dalam hal indeks persepsi korupsi, nilai Indonesia sangat rendah.

Hal ini memang tak dapat terbantahkan, bagaiamna tidak, dengan adanya keterbukaan informasi publik mewajibkan bagi badan publik untuk menjamin akses dan menyediakan informasi bagi masyarakat, baik itu yang wajib di sediakan tanpa di minta masyarakat dan ada informasi yang diminta oleh masyarakat lalu di bukakan informasi untuk si pemohon informasi tersebut.

Dengan adanya keterbukaan informasi publik sesuai amanah UU No.14 Tahun 2008 seharusnya dapat menjadi control bagi masyarakat untuk para penyelenggara negara untuk tidak melakukan praktik korupsi, setidak-tidak dapat menjadikan para penyelenggara negara takut atau was-was apabila ada indikasi perbuatan kecurangan dalam alokasi maupun memanipulasi anggara.

Dengan begitu dapatlah untuk memanimalisir tindakan koruptif para penyelenggara negara yang kian hari semakin berani dan tidak malu sama sekali untuk melakukan pratik-praktik korupsi. Namun, dalam realitanya UU No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik belum cukup sakti untuk menjadi obat penawar untuk memerangi racun korupsi ini.

Karena sejak di undangkan UU KIP ini sampai dengan sekarang belum dapat meminimalisasikan tindakan koruptif pejabat negara, selama sepuluh tahun terakhir saja terdapat 3.000-an anggota DPR atau DPRD yang terjerat korupsi. Transparancy International merilis data pada tahun 2010 bahwa Indonesia berada peringkat teratas di Asia sebagai negara terkorup dan berada di ambang batas negara terkorup di dunia.

Hal ini tidak dapat terbantahkan, mengingat sepanjang tahun 2004-2011, kerugian negara akibat korupsi mencapai 39,3 triliun. Jelas ini bukan jumlah nominal yang kecil dan menyebabkan kerugian negara karenanya, di tambah dengan mencuatnya kasus korupsi belakangan ini yakni kasus korupsi mega proyek mengadaan KTP Elektronik yang di taksir merugikan negara cukup besar dengan jatuh di angka nominal yang cukup fantastis senilai 2,3 Miliyar. Dengan menyeret nama-nama besar di republik ini, jelas ini menambah deretan kasus korupsi di republik ini, menambah kerugian negara dan menambah buruk citra para penyelenggara negara yang saat ini sedang keruh-keruhnya.

Dengan adanya UU KIP tidak hanya saja dapat untuk meminimalisir angka korupsi dan menutup kemungkinan manipulasi anggaran yang selama ini banyak di lakukan para pejabat publik. Celakanya, bukan hal itu saja yang sedang mengitari UU KIP ini, buruknya lagi UU KIP ini malah di manfaatkan sebagian oknum perorangan maupun kelompok untuk “mencari makan”.

Dengan bermodalkan UU No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik ini, oknum-oknum tersebut mendatangi badan-badan publik untuk mencari informasi mengenai anggaran maupun aloksinya kemana, jika hal tertentu mereka menemukan sebuah kejanggan dan terindikasi adanya semacam manipulsi ataupun korupsi mereka ini akan mengancam akan melaporkan temuan mereka ini.

Agaknya hal semacam inilah yang mereka manfaatkan untuk menanduk, memeras, mentalang dana dari badan publik tersebut sebagai obyek mereka “mencari makan” yang di sampaikan penulis di atas. Dengan kondisi seperti ini tidaklah dapat sebuah sistem control social yang teroganisir dan sistemis badan publik maupun pejabat publik untuk tidak memanipulasi maupun korupsi.

Karena dalam setiap indikasi korupsi maka jatuh-jatuhnya akan terjadi suap-menyuap di belakangnya. Oleh karena itu sangatlah di sayangkan bagi oknum-oknum yang malah memanfaatkan UU No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik ini, sebagai modal untuk mencari makan, jelas ini merusak sistem yang coba di bangun dengan baik untuk menuntut tata kelolaan pemerintahan yang baik (good governance) dengan  ketersediaan keterbukaan informasi.


Penulis merupakan mahasiswa PPKn Fis Unimed, Duta Keterbukaan Informasi Publik Sumut dan Aktifis di Sekolah Anti Korupsi Sumut.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

BISNIS BERGARANSI 100% MAMA PARFUME INDONESIA

Merawat Hutan Mangruve Demi Ekologi Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan

Dinamika Kehidupan Mahasiswa