Korupsi, Ini Semua Masalah Cinta !
Tema:
“Mengawal Demokrasi Konstitusi, Melawan Korupsi”
Pelaku usaha dan
swasta tercatat menempati peringkat tertinggi sebagai pelaku korupsi
berdasarkan data penanganan perkara Komisi Pemberantasan Korupsi tahun
2004-2016. Melihat fenomena tersebut, keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor
13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi
menjadi salah satu solusi mencegah praktik korupsi di kalangan swasta.
Kepala Biro
Hukum KPK Setiadi saat menjadi pembicara dalam bedah buku Ajaran Pemidanaan
Tindak Pidana Korporasi dan Seluk-beluknya, Jumat (4/8), di Jakarta mengatakan,
KPK menyambut baik keluarnya Peraturan MA No 13/2016. Peraturan MA menjadi
pedoman teknis dalam menangani tindak pidana korporasi menguatkan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
“Korporasi sejak
lama menjadi perhatian pembuat undang-undang sebab korporasi juga sudah
disebutkan dalam Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pasal-pasal itu secara tegas menyebutkan bahwa korporasi juga bisa
menjadi pelaku korupsi, tidak hanya pribadi atau perseorangan,” kata Setiadi.
Keterlibatan
swasta dalam tindak pidana korupsi pun riil. Sepanjang tahun 2004-2016,
tercatat ada 156 orang yang merupakan bagian pihak swasta atau pelaku usaha
yang melakukan korupsi. KPK pun hingga saat ini tengah menangani dua perkara
korupsi yang melibatkan korporasi. Salah satu korporasi yang sedang disidik KPK
ialah PT Duta Graha Indah (DGI) yang kini berubah nama menjadi PT Nusa
Konstruksi Enjiniring. PT DGI ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Juli lalu,
dalam perkara korupsi proyek pembangunan wisma atlet di Jakabaring, Palembang (Kompas.05/08/2017).
Soal
cinta !
Di dalam kondisi
masyarakat yang menempatkan pertukaran materiil sebagai satu-satunya hal yang
dianggap sebagai pilihan yang dapat membahagiakan manusia sulit kiranya
mendapatkan ketulusan dari orang yang kita percaya. Dalam kondisi masyarakat
seperti ini segala sesuatu diukur dengan imbal balik seperti layaknya jual-beli
di pasar. Sulit kiranya menemukan peristiwa, meminjam istilah yang digunakan
Karl Marx, dimana cinta hanya bisa dibeli
dengan cinta.
Dalam kondisi
masayarakat yang seperti ini tidak menutup kemungkinan bakal memuculkan
manusia-manusia pembohong, manusia yang menggunakan kebohongan sebagai alat
untuk mendapatkan keuntungan materiil, prestise, dan kekuasaan.
Dalam kondisi
masyarakat yang seperti ini, meminjam pemikiran dari Erich Fromm dalam : The
Art Of Love (2002), manusia kemudian menempatkan cinta bukan sebagai seni dan
kejujuran, tetapi hanya sebagai alat untuk menghidupi karakter manusia yang
narsis, konformis, gila kekayaan materiil da kekuasaan.
Erich Fromm,
menandaskan bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang menempatkan seni dan
kejujuran di atas segalanya. Seni yang di maksud Erich Fromm adalah pengetahuan
dan perjuangan terhadapa cinta. Pengetahuan terhadap cinta akan merefleksikan
rasa kebersamaan dan kepeduliaan, sedangkan perjuangan dalam cinta adalah memperjuangkan kebersamaan dan kepeduliaan
tersebut.
Dari sinilah
kemudian, Fromm mewacakan, kejujuran akan muncul dimana pihak yang satu dengan
pihak lainnya tidak membohongi dan membodohi. Menurut penulis apa yang di
wacanakan oleh Fromm ini adalah kondisi dimana antara kepentingan induvidu dan
kepentingan kolektif saling bersinergi.
Berangkat dari
wacana yang dilontarkan oleh Karl Marx dan Erich Fromm, maka dapatlah di pahami
bahwa perilaku korupsi muncul dari ketiadaan rasa kebersamaan dan kepeduliaan,
dan melahirkan ketidakjujur untuk saling membohongi dan membodohi sehingga
muncul kerakusan dalam diri seseorang, maka ia tidak dapat lagi membedakan mana
kepentingan induvidu dan mana kepentingan kolektif.
Pengusaha
dan penguasa
Jamak
orang mengatakan, kalau hendak menjadi seorang penguasa maka berangkat dari
seorang pengusaha terlebih dahulu, karena pengusaha memiliki kekuatan finansial
untuk maju dalam kontesasi perebutan kekuasaan, memiliki banyak uang untuk
membiyai selama masa kampanye dalam suatu masalah pemilihan.
Karena
selama ini, kecendrungan sebagian orang memandang bahwa para penguasa sekarang
yang tidak memiliki latar belakang sebagai seseorang pengusaha, pasti memiliki
“utang budi” terhadap orang-orang (terutama kalangan pengusaha) yang
membantunya dan menyukseskan selama masa kampanye sampai kepada mendapatkan
kekuasaan tersebut, baik berupa bantuan materiil maupun non materiil.
“Utang
budi” inilah selanjutnya yang akan berbuah kepada tindakan koruptif, penulis
dapat menganalogikan ketika si A lagi mendapat kesulitan dalam membayar utang,
lantas ia meminta bantuan ke si B, maka datang si B memberi bantuannya dalam perihal
melunasi utang-utang si A tersebut. Maka dalam situasi yang berbeda, ketika si
B mendapati atau mengalami sebuah kesulitan atau masalah dan lantas si B
meminta bantuan kepada si A. Pertanyaanya, apakah si A tidak mau menolong si B
? jawabnya pasti si A akan berusaha membalas budi si B yang pernah menolong
sebelumnya.
Dalam
realitasnya, ketika seorang calon penguasa maju dalam kontesasi perebutan
kekuasaan, maka pengusaha membantu secara finansial dalam menyukseskan calon
penguasa, mulai dari masa kampanye hingga mendapatkan kursi kekuasaan tersebut.
Maka dalam situasi yang berbeda, ketika pengusaha memiliki kepentingan kepada
penguasa, lantas pengusaha meminta bantuan kepada penguasa untuk mengetahui
proyek apa saja yang akan di realisasikan oleh pemerintah dan meminta bantuan
kepada penguasa untuk mendapatkan proyek-proyek tersebut. Pertanyaannya, apakah
si penguasa tidak akan membantu si pengusaha mendapatkan proyek-proyek yang ia
maksud ? tentunya kita semua dapat menerkanya.
Pertanyaan
yang selanjutnya muncul adalah apakah seorang penguasa yang memiliki latar
belakang sebagai seorang pengusaha tidak akan terjerembab pada tindakan
koruptif ? karena ia telah memiliki modal finansial dalam membiayai perjalanan
selama masa kampanye hingga kekuasaan berada dalam gengagamannya, tidak ada
satu pun yang dapat menjamin itu semua.
Bahkan penulis
dapat mengatakan, lebih akan berbahaya jika penguasa berangkat dari latar
belakang sebagai seorang pengusaha. Karena seorang pengusaha akan selalu
berpikir dengan untung dan rugi, yang memandang secara ekonomi ataupun materiil
belaka.
Bahayanya
seorang penguasa dari latar belakang seorang pengusaha telah mempercampur
adukkan aspek bisnis dengan politik, ia tidak dapat membedakan ranah bisnis
dengan ranah politik, karena dalam hal ini kecendrungan yang akan terjadi
adalah dalam dunia bisnis hal itu bisa saja sah di lakukan, akan tetapi
menyangkut dalam dunia politik bisa jadi itu sebuah tindakan koruptif, karena ia
dapat meyalahgunakan kekuasaannya untuk mendapatkan tender proyek pengadakan
atau proyek lainnya yang di kerjakan oleh perusahaan milikinya atau rekanannya.
Terlebih ia
tidak dapat membedakan mana kepentingan induvidu dan mana kepentingan kolektif,
semua di campur adukkan menjadi satu, menjadikan politik sebagai alat untuk
memperkukuh dunia usahanya dalam usaha pengejarannya terhadap aspek pribadi dan
materi.
Untuk itu, tidak
ada yang dapat menjamin, bahwa penguasa yang lahir dari latar belakang seorang pengusaha
akan terhindar dari tindakan koruptif, karena ini semua merupakan masalah
cinta, cinta terhadap kebenaran dan kejujuran. Jika mengutip novel The Smilling Death “tidak ada jalan
menuju kejujuran, kecuali kejujuran itu sendiri menjadi jalannya”.
M. Hariansyah merupakan
mahasiswa PPKn Fis Unimed, Alumni Climate Blogger,
Bogor 2017 dan Alumni Anti-Corruption Youth Camp, Bandung 2017.
Komentar
Posting Komentar