RUU, Rancangan Untuk Uang ?


Subtema "Penanganan Sengketa Pilkada dan Perwujudan Demokrasi Antikorupsi"

Selama dilakukannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu), paling tidak mengemuka lima isu krusial yang amat terkait dengan pelaksanaan pemilu, terlebih dari lima isu krusial ini terbagi dalam beberapa paket.

Pertama,  Paket A terdiri dari presidential threshold 20 persen kursi atau 25 persen suara nasional, parliamentary threshold 4 persen, sistem pemilu terbuka, metode konversi suara sainte lague murni, dan jumlah kursi per daerah pemilihan 3-10.

Ada enam fraksi yang mendukung opsi ini yakni PDI-P (109 kursi), Golkar (91 kursi), Hanura (16 kursi), PKB (47 kursi), dan Nasdem (35 kursi).Paket yang dipilih oleh keenam fraksi tersebut sedianya sama dengan usulan pemerintah, terutama dalam hal presidential threshold.

Kedua, Paket B yakni presidential threshold 0 persen,parliamentary threshold 4 persen, sistem pemilu terbuka, metode konversi suara kuota hare, dan jumlah kursi per daerah pemilihan 3-10 masih menginginkan musyawarah mufakat. Ketiga fraksi yang mendukung opsi ini yakni Gerindra (73 kursi), PKS (40 kursi), dan Demokrat (61 kursi).

Ketiga, Paket C mencakup presidential threshold 10-15 persen, parliamentary threshold 4 persen, sistem pemilu terbuka, jumlah kursi per daerah pemilihan 3-10, dan metode konversi suara kuota hare. Opsi C dimunculkan oleh PAN (49 kursi). Setidaknya ketiga paket tersebut yang berkembang dalam forum.


Drama Politik

Rapat Paripurna pengambilan keputusan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu Kamis (20/7/2017) kembali dibuka pukul 22.30 WIB setelah diskors sejak pukul 14.00 WIB.


Awalnya masing-masing fraksi menyampaikan pandangannya setelah melakukan lobi. Keenam fraksi yakni PDI-P, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, dan PKB menginginkan agar malam ini dilakukan voting terkait lima isu krusial termasuk presidential threshold.

Namun, tiga fraksi lainnya yakni PKS, Gerindra, dan PAN menginginkan agar isu presidential threshold diputuskan Senin (24/7/2017). Sedangkan ketiganya bersepakat empat isu krusial lainnya yakniparliamentary threshold, sistem pemilu, metode konversi suara, dan jumlah suara perdaerah pemilihan bisa diputuskan malam ini.

Sementara itu, Partai Demokrat mempersilakan keputusan terkait lima isu krusial dilakukan malam ini meskipun mereka tak akan bertanggungjawab dengan hasil voting tersebut. "Sebab kami memandang isu presidential threshold secara prinsipil dan tak bisa ditawar," ujar Sekretaris Fraksi Demokrat Didik Mukriyanto.

Rancangan Undang-Undang Pemilu yang digodok secara intensif dan disertai dinamika pembahasan yang tinggi akhirnya resmi disahkan. UU Pemilu diketok pada rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (21/7/2017) dini hari.

Lamanya proses pembahasan tak lantas membuat pengesahan berjalan lacar. Lobi berlangsung cukup lama dan alot. Paripurna pengambilan keputusan UU Pemilu diwarnai drama politik.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus menilai, drama tersebut menunjukan gambaran umum DPR saat ini. "Parlemen dengan seribu satu masalah, tetapi semuanya masalah terkait bagaimana mengamankan kekuasaan, mencari peluang kekuasaan yang baru, dan diantaranya transaksi (uang dan kepentingan) selalu mungkin terjadi di tengah pragmatisme partai-partai".

Mencermati dinamika politik yang ada, ada beberapa hal yang ganjal dalam proses Rapat Paripurna pengambilan keputusan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu Kamis (20/7/2017). Pertama, jumlah anggota Dewan yang datang pada rapat paripurna meningkat berkali-kali lipat dari rapat biasanya. Jelang diputuskannya pengambilan keputusan lewat mekanisme voting, tercatat 539 anggota hadir.

Hampir semua partai bahkan mewajibkan anggota fraksinya hadir untuk mengantisipasi voting. Bahkan, ada fraksi yang akan memberi sanksi anggotanya jika tak hadir. Misalnya Hanura, anggota fraksi yang absen dengan alasan tak jelas bisa kena sanksi hingga pemberhentian sebagai anggota DPR. "Semua dilakukan hanya karena partai tak rela kalah di voting RUU Pemilu".

Kedua, aksi walkout empat fraksi yang menolak pengambilan keputusan dilakukan dengan mekanisme voting. Empat fraksi itu, yakni Gerindra, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Alasan utama yang melatari aksi walkout tersebut karena enggan menyetujui angka presidential threshold sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara nasional seperti yang diusulkan pemerintah dan enam partai pendukung pemerintah. Walkout sah saja dalam rapat paripurna. Namun, melihat aksi tersebut terlihat lucu lantaran empat fraksi walkout karena seolah takut kalah dalam voting.

Dana kampanye

Mencermati perkembangan yang ada, tampaknya dana kampanye belum menjadi perhatian publik. Padahal,  sumber dan penggunaan dana kampanye amat terkait dengan asas pemilu yang akuntabel. Dana kampanye merupakan bagian yang paling rentan untuk terjadinya segala macam penyalahgunaan.

Berkaca pada pengalaman pelaksanaan beberapa pemilu lalu, dana kampanye adalah bagian yang tidak diatur dan diawasi secara ketat. Kelonggaran itu, memberi peluang kepada partai politik melakukan segala cara untuk menghimpun dana kampanye. Akibatnya, sulit untuk meminta pertanggung jawaban partai politik (parpol) peserta pemilu, baik secara politik maupun secara hukum, terhadap segala bentuk penyelewengan yang dilakukan. 

Di luar hal itu, rumusan longgar yang ada dalam RUU pemilu di perparah dengan tidak adanya pengaturan hal-hal mendasar lainnya yang terkait dengan dana kampanye.

Pertama, ketentuan batas maksimal penggunaan dana kampanye. Kedua, ketentuan yang mampu menutup segala peluang terjadinya manipulasi sumber keuangan. Ketiga, mekanisme penyelidikan dan penetapan pembatalan sebagai peserta pemilu.

Saya setuju dengan apa yang di sampaikan bapak Lucius Karus di atas, dalam proses pengambilan keputusan RUU Pemilu menunjukan gambaran umum DPR saat ini. "Parlemen dengan seribu satu masalah, tetapi semuanya masalah terkait bagaimana mengamankan kekuasaan, mencari peluang kekuasaan yang baru, dan diantaranya transaksi (uang dan kepentingan) selalu mungkin terjadi di tengah pragmatisme partai-partai". Maka tak ayal yang seharusnya RUU (Rancangan Undang-Undang) dapat di plesetkan menjadi RUU (Rancangan Untuk Uang).

Dengan ketidakjelasan dan ketidakadaaan beberapa aturan mengenai dana kampanye, sulit mengharapkan sumber penggunaan dana kampanye terbebas dari praktik kecurangan dan manipulasi. Apakah ini terjadi karena faktor kesengajaan (by design) atau faktor kebetulan (by accident). Rasanya terlalu dini untuk mengatakan rumusan seperti ini merupakan kesengajaan. Meski demikian, terlalu polos pula untuk mengatakan sebagai kebetulan.


M. Hariansyah lahir di Kota Tengah 10 Mei 1997 merupakan mahasiswa PPKn Fis Unimed, Alumni Climate Blogger, Bogor 2017 dan Alumni Anti-Corruption Youth Camp, Bandung 2017.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

BISNIS BERGARANSI 100% MAMA PARFUME INDONESIA

TUGAS MINI RISET PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Menikmati Proses